Pembinaan Karakter Anak Sejak Usia Dini Berbasis Sastra Anak - Hurlock menjelaskan bahwa salah satu karakteristik tugas perkembangan anak-anak adalah berkaitan dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Anak senang memuaskan keingintahuannya dengan hal-hal baru yang berbeda dengan menjelajahinya. Anak yang lebih besar ingin menjelajah lebih jauh dari lingkungan rumah dan lingkungan tetangga. Misalnya, rumah tua yang tak terpakai dan rumah baru yang sedang dibangun akan membangkitkan minat anak.
Anak kota ingin menjelajah desa, sementara anak desa ingin menjelajah lingkungan kota. Hal ini disebabkan kegiatan menjelajah pada masa akhir kanak-kanak lebih menyenangkan bila dilakukan bersama anak lain. Pada periode ini, menjelajah menjadi aktivitas yang populer. Popularitas menjelajah sebagai kegiatan bermain menimbulkan banyak kegiatan rekreasi dari kelompok terorganisasi, seperti Pramuka atau lainnya.
Selain menjelajah, kecenderungan rasa ingin tahu yang sangat tinggi dapat dipenuhi dengan melakukan beberapa aktivitas lain, salah satunya adalah dengan membaca karya sastra anak bergenre fantasi.
Pada zaman serbacanggih seperti sekarang, kegiatan mendongeng
di mata anak-anak tidak populer lagi. Sejak bangun hingga menjelang
tidur, mereka dihadapkan pada televisi yang menyajikan beragam acara,
mulai dari film kartun, kuis, hingga sinetron yang acapkali bukan
tontonan yang pas untuk anak. Kalaupun mereka bosan dengan acara
yang disajikan, mereka dapat pindah pada permainan lain seperti
videogame.
Di kalangan anak-anak, kegiatan mendongeng merupakan sesuatu
yang sangat disukai dan dinanti-nanti. Dari kisah-kisah yang ada dalam
dongeng tersebut anak akan mulai tertawa ketika ada hal yang lucu dan
akan larut dalam kesedihan ketika mendengar kisah yang menyedihkan.
Selain itu, dongeng mampu mencetak anak yang gemar membaca,
berani berbicara, mampu mengungkapkan cerita dan bahkan mampu
menciptakan dongeng-dongeng lainnya, itu semua karena hasil dari dongeng yang mereka dengar atau baca. Dari semua ini tentu tidak lepas dari peran orangtua sebagai orang terdekat bagi anak-anak.
Namun, kendalanya adalah ketika orangtua tidak memiliki dongeng
atau bahkan tidak bisa mendongeng. Namun, sebagai orangtua juga
perlu berhati-hati dalam memilih suatu kisah atau dongeng. Sebab,
tidak semua cerita dapat memberikan manfaat kepada anak.
Membacakan cerita atau dongeng pada anak adalah salah satu
cara berkomunikasi dengan si kecil. Melalui cerita, Anda dapat
menyampaikan pesan-pesan moral baik yang secara umum maupun
yang ingin Anda selipkan. Berikut ini adalah beberapa manfaat lain
mendongeng yang ternyata sepadang dengan usaha Anda meluangkan
satu jam ekstra untuk duduk dan berkonsentrasi dengan si kecil.
Anak-anak yang sering didongengi biasanya tumbuh menjadi anak
yang lebih pandai, lebih tenang, lebih terbuka, dan lebih seimbang jika
dibandingkan dengan anak-anak yang tidak didongengi—demikian
kesimpulan tiga orang peneliti berkebangsaan Jerman (H.G. Wahn, W.
Hesse, dan U.Schaefer di dalam Suddeutsche Zeitung, 24 Juni 1980).
Lebih lanjut, mereka mengemukakan bahwa imajinasi, perbendaharaan
kata, daya ingat, dan cara berbicara berkembang sesuai dengan
kesan-kesan pendengaran dan pengamatan yang diterima anak melalui
dongeng. Oleh karena itu, penyuguhan gambar pada zaman modern
melalui televisi, buku komik, dan cerita bergambar tidak mengurangi
peranan dongeng sebagai bagian yang penting di dalam pendidikan.
Dongeng mampu bertahan sampai berabad-abad karena dongeng
merupakan cerita terbaik di dunia.
Dengan demikian, kegiatan mendongeng sebetulnya dapat
memikat dan mendatangkan banyak manfaat, tidak hanya untuk
anak-anak, tetapi juga orangtua yang mendongeng untuk anaknya.
Kegiatan ini dapat mempererat ikatan dan komunikasi yang terjalin antara orangtua dan anak. Para pakar menyatakan ada beberapa manfaat lain yang dapat digali dari kegiatan mendongeng ini.
Pertama, anak dapat mengasah daya pikir dan imajinasinya.
Hal yang belum tentu dapat terpenuhi bila anak hanya menonton
dari televisi. Anak dapat membentuk visualisasinya sendiri dari cerita
yang didengarkan. Ia dapat membayangkan seperti apa tokoh-tokoh
maupun situasi yang muncul dari dongeng tersebut. Lama-kelamaan
anak dapat melatih kreativitas dengan cara ini.
Kedua, cerita atau dongeng merupakan media yang efektif untuk
menanamkan berbagai nilai dan etika kepada anak, bahkan untuk
menumbuhkan rasa empati. Misalnya, nilai-nilai kejujuran, rendah
hati, kesetiakawanan, kerja keras, maupun tentang berbagai kebiasaan
sehari-hari seperti pentingnya makan sayur dan menggosok gigi. Anak
juga diharapkan dapat lebih mudah menyerap berbagai nilai dengan
tidak bersikap memerintah atau menggurui. Sebaliknya, para tokoh
cerita dalam dongeng tersebutlah yang diharapkan menjadi contoh
atau teladan bagi anak.
Ketiga, dongeng dapat menjadi langkah awal untuk menumbuhkan
minat baca anak. Setelah tertarik pada berbagai dongeng yang
diceritakan, anak diharapkan mulai menumbuhkan ketertarikannya
pada buku. Diawali dengan buku-buku dongeng yang kerap
didengarnya, kemudian meluas pada buku-buku lain seperti buku
pengetahuan, sains, agama, dan sebagainya.
Tidak ada batasan usia yang ketat mengenai kapan sebaiknya
anak dapat mulai diberi dongeng. Untuk anak-anak usia prasekolah,
dongeng dapat membantu mengembangkan kosakata. Hanya saja
cerita yang dipilihkan tentu saja yang sederhana dan kerap ditemui
anak sehari-hari. Misalnya, dongeng-dongeng tentang binatang.
Sedangkan untuk anak-anak usia sekolah dasar dapat dipilihkan cerita
yang mengandung teladan, nilai, dan pesan moral serta problem solving.
Harapannya, nilai dan pesan tersebut kemudian dapat diterapkan anak
dalam kehidupan sehari-hari.
Keberhasilan suatu dongeng tidak saja ditentukan oleh daya
rangsang imajinatifnya, tetapi juga kesadaran dan kemampuan
pendongeng untuk menyajikannya secara menarik. Untuk itu, kita
dapat menggunakan berbagai alat bantu seperti boneka atau berbagai
buku cerita sebagai sumber yang dapat dibaca oleh orangtua sebelum
mendongeng.
Berikut adalah beberapa manfaat dongeng untuk anak.
PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS SASTRA:
Solusi Pendidikan Moral yang Efektif
Rohinah M. Noor
Anak kota ingin menjelajah desa, sementara anak desa ingin menjelajah lingkungan kota. Hal ini disebabkan kegiatan menjelajah pada masa akhir kanak-kanak lebih menyenangkan bila dilakukan bersama anak lain. Pada periode ini, menjelajah menjadi aktivitas yang populer. Popularitas menjelajah sebagai kegiatan bermain menimbulkan banyak kegiatan rekreasi dari kelompok terorganisasi, seperti Pramuka atau lainnya.
Selain menjelajah, kecenderungan rasa ingin tahu yang sangat tinggi dapat dipenuhi dengan melakukan beberapa aktivitas lain, salah satunya adalah dengan membaca karya sastra anak bergenre fantasi.
Urgensitas Dongeng pada Perkembangan Psikologi Anak
Dalam konteks tersebut, karya sastra anak yang baik adalah yang dapat mengajak anak-anak sebagai pembacanya ke penziarahan fantasi. Karya sastra anak fantasi, baik cerpen anak maupun novel, berkesempatan untuk mendorong anak-anak memasuki wilayah imajinatif yang ukurannya tak terukur akal pikir sederhana. Huck mengatakan, cerita fiksi juga membantu anak untuk mengembangkan daya fantasi. Menurut Huck, inilah sumbangan yang paling penting walau tidak berarti menisbikan adanya berbagai kemanfaatan yang lain. Melalui fiksi fantasi, lewat imajinasi yang dikembangkannya, anak dapat mengembangkan potensi kediriannya. Orang yang tidak memiliki imajinasi, demikian Huck mengutip Paul Fenimore, ibarat orang hidup, tetapi hanya separo hidup; orang hidup membutuhkan visi dan imajinasi akan memberikan visi yang diperlukan.Pada zaman serbacanggih seperti sekarang, kegiatan mendongeng
di mata anak-anak tidak populer lagi. Sejak bangun hingga menjelang
tidur, mereka dihadapkan pada televisi yang menyajikan beragam acara,
mulai dari film kartun, kuis, hingga sinetron yang acapkali bukan
tontonan yang pas untuk anak. Kalaupun mereka bosan dengan acara
yang disajikan, mereka dapat pindah pada permainan lain seperti
videogame.
Di kalangan anak-anak, kegiatan mendongeng merupakan sesuatu
yang sangat disukai dan dinanti-nanti. Dari kisah-kisah yang ada dalam
dongeng tersebut anak akan mulai tertawa ketika ada hal yang lucu dan
akan larut dalam kesedihan ketika mendengar kisah yang menyedihkan.
Selain itu, dongeng mampu mencetak anak yang gemar membaca,
berani berbicara, mampu mengungkapkan cerita dan bahkan mampu
menciptakan dongeng-dongeng lainnya, itu semua karena hasil dari dongeng yang mereka dengar atau baca. Dari semua ini tentu tidak lepas dari peran orangtua sebagai orang terdekat bagi anak-anak.
Namun, kendalanya adalah ketika orangtua tidak memiliki dongeng
atau bahkan tidak bisa mendongeng. Namun, sebagai orangtua juga
perlu berhati-hati dalam memilih suatu kisah atau dongeng. Sebab,
tidak semua cerita dapat memberikan manfaat kepada anak.
Membacakan cerita atau dongeng pada anak adalah salah satu
cara berkomunikasi dengan si kecil. Melalui cerita, Anda dapat
menyampaikan pesan-pesan moral baik yang secara umum maupun
yang ingin Anda selipkan. Berikut ini adalah beberapa manfaat lain
mendongeng yang ternyata sepadang dengan usaha Anda meluangkan
satu jam ekstra untuk duduk dan berkonsentrasi dengan si kecil.
Anak-anak yang sering didongengi biasanya tumbuh menjadi anak
yang lebih pandai, lebih tenang, lebih terbuka, dan lebih seimbang jika
dibandingkan dengan anak-anak yang tidak didongengi—demikian
kesimpulan tiga orang peneliti berkebangsaan Jerman (H.G. Wahn, W.
Hesse, dan U.Schaefer di dalam Suddeutsche Zeitung, 24 Juni 1980).
Lebih lanjut, mereka mengemukakan bahwa imajinasi, perbendaharaan
kata, daya ingat, dan cara berbicara berkembang sesuai dengan
kesan-kesan pendengaran dan pengamatan yang diterima anak melalui
dongeng. Oleh karena itu, penyuguhan gambar pada zaman modern
melalui televisi, buku komik, dan cerita bergambar tidak mengurangi
peranan dongeng sebagai bagian yang penting di dalam pendidikan.
Dongeng mampu bertahan sampai berabad-abad karena dongeng
merupakan cerita terbaik di dunia.
Dengan demikian, kegiatan mendongeng sebetulnya dapat
memikat dan mendatangkan banyak manfaat, tidak hanya untuk
anak-anak, tetapi juga orangtua yang mendongeng untuk anaknya.
Kegiatan ini dapat mempererat ikatan dan komunikasi yang terjalin antara orangtua dan anak. Para pakar menyatakan ada beberapa manfaat lain yang dapat digali dari kegiatan mendongeng ini.
Pertama, anak dapat mengasah daya pikir dan imajinasinya.
Hal yang belum tentu dapat terpenuhi bila anak hanya menonton
dari televisi. Anak dapat membentuk visualisasinya sendiri dari cerita
yang didengarkan. Ia dapat membayangkan seperti apa tokoh-tokoh
maupun situasi yang muncul dari dongeng tersebut. Lama-kelamaan
anak dapat melatih kreativitas dengan cara ini.
Kedua, cerita atau dongeng merupakan media yang efektif untuk
menanamkan berbagai nilai dan etika kepada anak, bahkan untuk
menumbuhkan rasa empati. Misalnya, nilai-nilai kejujuran, rendah
hati, kesetiakawanan, kerja keras, maupun tentang berbagai kebiasaan
sehari-hari seperti pentingnya makan sayur dan menggosok gigi. Anak
juga diharapkan dapat lebih mudah menyerap berbagai nilai dengan
tidak bersikap memerintah atau menggurui. Sebaliknya, para tokoh
cerita dalam dongeng tersebutlah yang diharapkan menjadi contoh
atau teladan bagi anak.
Ketiga, dongeng dapat menjadi langkah awal untuk menumbuhkan
minat baca anak. Setelah tertarik pada berbagai dongeng yang
diceritakan, anak diharapkan mulai menumbuhkan ketertarikannya
pada buku. Diawali dengan buku-buku dongeng yang kerap
didengarnya, kemudian meluas pada buku-buku lain seperti buku
pengetahuan, sains, agama, dan sebagainya.
Tidak ada batasan usia yang ketat mengenai kapan sebaiknya
anak dapat mulai diberi dongeng. Untuk anak-anak usia prasekolah,
dongeng dapat membantu mengembangkan kosakata. Hanya saja
cerita yang dipilihkan tentu saja yang sederhana dan kerap ditemui
anak sehari-hari. Misalnya, dongeng-dongeng tentang binatang.
Sedangkan untuk anak-anak usia sekolah dasar dapat dipilihkan cerita
yang mengandung teladan, nilai, dan pesan moral serta problem solving.
Harapannya, nilai dan pesan tersebut kemudian dapat diterapkan anak
dalam kehidupan sehari-hari.
Keberhasilan suatu dongeng tidak saja ditentukan oleh daya
rangsang imajinatifnya, tetapi juga kesadaran dan kemampuan
pendongeng untuk menyajikannya secara menarik. Untuk itu, kita
dapat menggunakan berbagai alat bantu seperti boneka atau berbagai
buku cerita sebagai sumber yang dapat dibaca oleh orangtua sebelum
mendongeng.
Berikut adalah beberapa manfaat dongeng untuk anak.
- Mengajarkan Nilai Moral yang Baik. Dengan memilih dongeng yang isi ceritanya bagus, akan tertanam nilai-nilai moral yang baik. Setelah mendongeng, sebaiknya pendongeng menjelaskan mana yang baik yang patut ditiru dan mana-mana saja yang buruk dan tidak perlu ditiru dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai tindak kenakalan dapat dikurangi dari menanamkan perilaku dan sifat yang baik dari mencontoh karakter ataupun sifat-sifat perilaku di dalam cerita dongeng. Mendongeng mungkin memiliki efek yang lebih baik daripada mengatur anak dengan cara kekerasan (memukul, mencubit, menjewer, membentak, dan lain-lain).
- Mengembangkan Daya Imajinasi Anak. Sayang sekali saat ini jarang sekali kaset tape atau CD audio dongeng maupun cerita suara yang dijual di toko kaset dan CD. Atau, mungkin sudah tidak ada sama sekali. Padahal, cerita-cerita dalam bentuk suara dapat membuat anak berimajinasi membayangkan bagaimana jalan cerita dan karakternya. Anak-anak akan terbiasa berimajinasi untuk memvisualkan sesuatu di dalam pikiran sehingga dapat menjabarkan atau menyelesaikan suatu permasalahan.
- Menambah Wawasan Anak-Anak. Anak-anak yang terbiasa mendengar dongeng dari pendongengnya biasanya perbendaharaan kata, ungkapan, sejarah, watak orang, sifat baik, sifat buruk, teknik bercerita, dan lain sebagainya akan bertambah. Berbagai materi pelajaran sekolah pun bisa kita masukkan pelan-pelan di dalam cerita dongeng untuk membantu buah hati kita memahami pelajaran yang diberikan di sekolah.
- Meningkatkan Kreativitas Anak. Kreativitas anak bisa berkembang dalam berbagai bidang jika dongeng yang disampaikan dibuat menjadi berbobot. Kita pun sah-sah saja apabila ingin menambahkan isi cerita selama tidak merusak jalan cerita sehingga tidak menjadi aneh dan tidak menarik lagi.
- Mendekatkan Anak-Anak dengan Orangtuanya. Terjadinya interaksi tanya jawab antara anak-anak dengan orangtua secara tidak langsung akan mempererat tali kasih sayang. Selain itu, tertawa bersama-sama juga dapat mendekatkan hubungan emosional antar-anggota keluarga. Apabila sering dilakukan maka bisa menghilangkan hubungan yang kaku antara anak dengan orangtua yang mendongengkan.
- Menghilangkan Ketegangan/Stres. Jika anak sudah hobi mendengarkan cerita dongeng, anak-anak akan merasa senang dan bahagia jika mendengar dongeng. Dengan perasaan senang dan mungkin diiringi dengan canda tawa, berbagai rasa tegang, perasaan buruk, dan rasa-rasa negatif lain bisa menghilang dengan sendirinya.
Dari begitu banyak manfaat dongeng, tidak ada salahnya bila
kita sisihkan sedikit waktu kita untuk memberikan dongeng yang
mendidik kepada anak-anak kita. Mendongeng bisa dilakukan oleh
salah satu maupun dua atau lebih orangtua (suami, istri, kakek, nenek, paman, bibi, kakak, dsb.) serta dapat diberikan kepada satu, dua atau
bahkan banyak anak sekaligus. Pendongengan tidak harus diberikan
pada malam hari, tetapi juga pada waktu-waktu lain.
Tak bisa disangkal bahwa dongeng memang memiliki daya tarik
tersendiri. Di sebagian sisi, terjadi suatu fenomena klise bahwa anak-anak
sebelum tidur kerap ingin mendengar dongeng yang dikisahkan oleh
ibu, nenek, atau orang dewasa yang berusaha menidurkannya. Meski
bisa saja ditafsirkan bahwa dongeng tidak selamanya menyenangkan,
tetapi pada kenyataannya dongeng mudah membuat anak tertidur.
Dengan demikian, di samping dongeng disetujui sebagai aktivitas
rileks, dongeng memiliki potensi konstruktif untuk mendukung
tumbuh kembang mental anak.
Bercerita atau mendongeng dalam bahasa Inggris disebut story
telling , memiliki banyak manfaat. Manfaat tersebut di antaranya
adalah mampu mengembangkan daya pikir dan imajinasi anak,
mengembangkan kemampuan berbicara anak, serta mengembangkan
daya sosialisasi anak dan yang terutama adalah sarana komunikasi
anak dengan orangtuanya (Media Indonesia, 2006). Kalangan ahli
psikologi menyarankan agar orangtua membiasakan mendongeng
untuk mengurangi pengaruh buruk alat permainan modern. Hal
itu dipentingkan mengingat interaksi langsung antara anak balita
dengan orangtuanya dengan mendongeng sangat berpengaruh dalam
membentuk karakter anak menjelang dewasa.
Selain itu, dari berbagai cara untuk mendidik anak, dongeng
merupakan cara yang tak kalah ampuh dan efektif untuk memberikan
human touch atau sentuhan manusiawi dan sportivitas bagi anak.
Melalui dongeng pula jelajah cakrawala pemikiran anak akan menjadi
lebih baik, lebih kritis, dan cerdas. Anak juga bisa memahami hal mana
yang perlu ditiru dan yang tidak boleh ditiru. Hal ini akan membantu
mereka dalam mengidentifikasikan diri dengan lingkungan sekitar di samping memudahkan mereka menilai dan memosisikan diri di tengah-tengah orang lain. Sebaliknya, anak yang kurang imajinasi
bisa berakibat pada pergaulan yang kurang dan sulit bersosialisasi atau
beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Namun terlepas dari banyaknya manfaat tersebut, rasanya kita
tetap harus berhati-hati. Karena, jika kita kurang teliti, cukup banyak
dongeng mengandung kisah yang justru rawan menjadi teladan
buruk bagi anak-anak. Sebut saja dongeng rakyat “Sangkuriang”
yang secara eksplisit mengisahkan bahwa ibu kandung Sangkuriang
karena bersumpah akan menjadi istri pihak yang mengambil peralatan
tenun yang jatuh terpaksa menikah dengan seekor anjing. Tak cukup
itu kondisi diperparah oleh kisah bahwa setelah membunuh sang
anjing yang notabene adalah ayah kandungnya sendiri, Sangkuriang
sempat jatuh cinta dalam makna asmara kepada Dayang Sumbi,
ibu kandungnya sendiri. Belum terhitung kelicikan Dayang Sumbi
membangunkan ayam jago agar berkokok sebelum saat fajar
benar-benar tiba, demi mengecoh Sangkuriang agar menduga dirinya
gagal memenuhi permintaan Dayang Sumbi, yakni merampungkan
pembuatan perahu dalam satu malam saja. Karena muatan-muatan
pada cerita dongeng harus dipertimbangkan dengan kondisi psikologis
yang mungkin diserap oleh sang anak, jangan sampai terjadi kesalahan
pemahaman dari dongeng yang dimaksudkan positif malah menjadi
negatif.
Hubungan kegiatan mendongeng dengan pembentukan
kepribadian anak terjadi saat anak mulai dapat mengidentifikasi tokoh.
“Ketika anak ikut hanyut dalam cerita, ia segera melihat dongeng dari
mata, perasaan, dan sudut pandangnya.” Di sini, orangtua bisa menilai
kecenderungan anak terhadap sesuatu hal. Apa yang dia sukai dan
tidak, apa yang dia anggap baik atau buruk.
Semua cerita yang terdengar sejak kecil, sebenarnya merupakan
cerita pembentukan karakter anak. Setiap cerita atau dongeng yang
didengar para tokohnya mewakili karakter tertentu. Ada tokoh dengan
karakter positif, tetapi ada juga yang negatif. Dalam konteks ini, sebagai
pembaca diharapkan untuk mengadaptasi karakter positif sang tokoh
dan mengabaikan karakter negatif yang ada.
Penanaman karakter melalui dongeng memang dianggap
yang paling efektif sebab dongeng begitu dekat dengan kehidupan
sehari-hari. Apalagi dengan sikap dan sifat anak-anak yang serba-ingin
tahu maka penceritaan yang menarik menjadikan anak-anak terus
mencari tahu setiap hal yang terjadi dalam dongeng tersebut.
Dunia dongeng merupakan dunia yang fantastis dan penuh
dengan warna-warni kehidupan. Menghidupkan kisah dengan
mendongeng akan menciptakan nuansa tersendiri khususnya bagi
anak-anak. Pendongeng yang baik adalah pendongeng yang mampu
menyelami jiwa dari kisah dongeng itu sendiri. Oleh karena itu, selamat
mendongeng. Ciptakan imajinasi yang bermanfaat bagi kehidupan.
Memerhatikan kondisi bangsa yang terjadi saat ini, seharusnya
perlu disadari pentingnya dongeng tradisional yang selama ini telah
terabaikan dan menggantikannya dengan cerita bangsa lain yang
belum tentu cocok dengan karakter bangsa. Sementara itu, hal paling
pokok yang harus diperhatikan adalah karakter anak bangsa yang
kelak menjadi para pemimpin bangsa ini. Misalnya, dongeng-dongeng
semacam dongeng “Timun Emas ” seharusnya dijaga dan dilestarikan
sehingga pembentukan karakter anak bangsa tetap berjalan sebagai
tanggung jawab terhadap penciptaan kondisi kehidupan yang lebih
baik.
1. Bacaan Membentuk Karakter Anak
Dari penelitian yang dilakukan oleh David McClelland ditemukan
fakta bahwa dongeng-dongeng yang berkembang di Inggris abad ke-16
pada umumnya mengandung nilai-nilai kepahlawanan, optimisme,
semangat untuk maju, kemandirian, dan nilai-nilai positif lainnya.
Sebaliknya, dongeng-dongeng yang berkembang di Spanyol lebih
banyak mengangkat komedi yang bernilai kelicikan, tipu daya, dan
sebagainya.
Ternyata, dongeng-dongeng ini mampu memengaruhi alam bawah
sadar anak-anak. Nilai-nilai yang terkandung dalam dongeng-dongeng
tersebut akhirnya terinternalisasi dalam alam bawah sadar anak-anak
dan terus terbawa hingga mereka dewasa. Anak-anak Inggris yang
senantiasa disuguhi dengan dongeng-dongeng yang mengandung
nilai-nilai positif akhirnya tumbuh menjadi anak yang berkarakter
positif. Selain itu, memiliki semangat yang tinggi, optimis, dan selalu
ingin maju. Hal ini sangat jarang ditemukan di Spanyol sehingga
pada perkembangan selanjutnya apa yang terjadi pada kedua negara
ini jauh berbeda. Dengan kata lain, bahan bacaan yang dikonsumsi
oleh anak-anak saat ini, sangat menentukan karakternya 25 tahun ke
depan. Apakah ia akan menjadi orang yang cerdik, jujur, bertanggung
jawab, licik atau yang lainnya.
Sementara itu, dalam Al-Quran kisah-kisah teladan pun
bertebaran. Bahkan, sebagian besar isi Al-Quran berupa kisah. Kisah
kepahlawanan dan kisah penuh motivasi lainnya, tak kurang-kurangnya
diurai dalam Al-Quran, hadis, dan sumber lainnya.
Pada dasarnya, mendongeng selain merupakan sarana membina
keakraban antara orangtua dan anak, juga dapat menjadi ajang
meningkatkan pengetahuan anak sekaligus melatih berpikir divergen
(mencari berbagai alternatif solusi untuk satu masalah). Mendongeng dapat dilakukan tidak hanya pada anak-anak TK atau SD, tetapi ketika
usia bertambah tua. Hal yang harus kita perhatikan adalah bagaimana
kita dapat menyampaikan dongeng sesuai usia anak. Ada beberapa cara
yang dapat kita lakukan antara lain sebagai berikut.
- Menyebut ciri tokoh. Untuk anak-anak TK atau SD kelas 1 dan 2, kita dapat menyebutkan ciri-ciri fisik tokoh dongeng. Misalnya, menyebutkan jumlah kaki, makanan pokok atau suaranya untuk dongeng tentang binatang, dan biarkan anak menebak tokoh yang kita sebutkan ciri-cirinya itu. Dapat pula melakukan hal sebaliknya, yaitu menyebut tokoh dongeng dan minta anak menyebutkan ciri-ciri fisiknya. Untuk anak yang lebih besar, sebutkan ciri yang lebih spesifik, seperti cara binatang berkembang biak atau bernapas.
- Mengaitkan dengan lagu. Kecerdasan ternyata tidak ditentukan oleh volume otak, tetapi kerimbunan otaknya, yakni bagaimana otak menghubungkan dan saling mengaitkan antar-berbagai hal dalam menghadapi masalah. Saat mendongeng, kita bisa membantu anak merimbunkan otaknya dengan meminta mereka mengingat lagu tentang tokoh yang sedang kita ceritakan. Misalnya, nyanyikan lagu “Si Kancil” atau kalau ceritanya malam hari, nyanyikan lagu “Bintang Kecil” atau “Bulan”.
- Ceritakan fakta yang terkait dengan tokoh. Tak ada salahnya, saat bercerita tentang hutan, ceritakan keadaan hutan Indonesia saat ini. Begitu pula jika tokoh dongeng seekor sapi, ceritakan tentang wabah sapi gila. Pastikan kita memberi informasi yang benar dengan membaca lebih dulu informasi apa yang akan kita ceritakan pada anak. Buat anak selalu up to date lewat dongeng.
- Beri anak kebebasan membuat akhir cerita. Cara ini selain melatih anak-anak berpikir kreatif dan imajinatif, juga menjadi sarana penting bagi orangtua untuk mendalami karakter anak. Orangtua akan mendapat masukan untuk membangun kelebihan anak dan menutupi kekurangannya. Mungkin, ada anak yang menyukai akhir cerita yang mengharukan, atau suka menambahi dengan kekerasan. Di sinilah saatnya orangtua dapat mewarnai anak-anak dengan karakter yang lebih baik dan membantu mereka menghadapi kehidupan di masa datang dengan lebih optimis dan bertanggung jawab.
2. Perkembangan Minat Anak Terhadap Sastra
Menurut Sunindyo (1975), perkembangan minat anak terhadap
bacaan berupa cerita (bisa diperluas menjadi sastra) adalah sebagai
berikut.
a. Usia 5 tahun
Anak terutama menyukai cerita bergambar. Cerita dapat berupa
apa saja asal disajikan dalam bentuk bergambar. Cerita bergambar
ini lebih disukai yang menggunakan warna-warna dasar merah,
kuning, dan hijau.
b. Usia 6–7 tahun
Mereka menyukai cerita-cerita peri, mitos, dan legenda. Minat pada
cerita peri ini bertahan hingga mereka berusia 10 tahun. Kecintaan
mereka kepada cerita peri harus dibaca sebagai kecintaan mereka kepada hal-hal yang ada kaitannya dengan kebaikan sebagaimana
hal yang selalu dilakukan peri.
c. Usia 8–9 tahun
Lebih menyukai cerita-cerita fabel. Selain itu, mereka juga
menyukai cerita-cerita dari kehidupan nyata seperti cerpen-cerpen
pada majalah atau novelet anak-anak.
d. Usia 10 tahun
Pada usia ini anak-anak perempuan mulai menyukai cerita-cerita
yang berkaitan dengan misteri kehidupan rumah tangga, seperti
film “Ratapan Anak Tiri”. Anak lelaki seusianya umumnya tidak/
belum menyukai hal ini. Intinya, cerita perjalanan dan biografi
(cerita sejarah).
e. Usia 11 tahun
Minat pada biografi (sastra sejarah) terus berkembang. Akan
tetapi, minat baca pada usia ini meluas pula kepada cerita-cerita
petualangan. Mereka amat menyukai cerita seperti “Sinbad”, “Lima
Sekawan”, dan lain-lain.
f. Usia 12 tahun
Usia ini dianggap sebagai puncak minat baca cerita. Pada umur ini,
anak-anak lebih menyukai biografi pahlawan yang menonjolkan
kisah heroiknya. Misalnya, kisah heroik Jenderal Soedirman lebih
disukai pada masa ini.
Pada dasarnya, perkembangan minat ini sangat bervariasi dan
mengalami banyak pergeseran. Hal itu tergantung kepada strategi
orangtua/keluarga memperkenalkan cerita sejak dini. Bila sejak dini
orangtua memperkenalkannya secara tepat dan bervariasi, minat anak
pun akan sangat kaya dan bervariasi pula. Yang harus dicegah adalah
jangan sampai orangtua baru memperkenalkan cerita (sastra) pada usia 12 tahun atau lebih. Bila itu terjadi, agak sulit kita mengharapkan
mereka akan memiliki minat baca cerita yang terbina dengan baik.
Ragam dari sastra anak pun sangat bervariasi, di antaranya
buku bacaan bergambar, fabel, cerita rakyat, sajak, fantasi, drama,
dan cerita nonfiksi. Tujuan dan tema berupa segala ragam masalah
kehidupan, mengenai lingkungan, moral, pendidikan, agama, dan
lain sebagainya.
Di Indonesia, kini sastra anak sudah berkembang dan mendapat
apresiasi dengan baik. Hal ini terlihat dari banyaknya buku-buku sastra
anak dengan beragam jenis, berdasarkan umur tertentu dan dikemas
dengan menarik. Legenda, fabel, cerita rakyat, dan mitos dengan
nilai-nilai budaya yang tinggi mencerminkan kebudayaan Indonesia
diproduksi dan diterbitkan ulang dengan kemasan dan gambar-gambar
lebih menarik.
Salah satunya adalah cerita “Si Kancil ” yang menanamkan
nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan kecerdikan. Pendidikan melalui
karya sastra, dapat juga dengan cara mendongeng atau menceritakan
kembali sebuah buku sastra kepada anak. Ketika mendongeng, orangtua
dapat memberikan ekspresi dan intonasi-intonasi tertentu yang
menambah kesenangan dan mempermudah anak dalam menerima
pesan moral yang diberikan.
Setidaknya ada beberapa syarat agar karya sastra anak memiliki
fungsi rekreatif-edukatif. Pertama, menyenangkan. Ciri utama
menyenangkan ini antara lain tampak pada penggunaan bahasa
yang segar sesuai bahasa anak-anak. Kalimatnya pendek-pendek dan
spontan, tidak dibebani “pesan”. Sering, penggunaan bahasanya lebih
mendekati bahasa sehari-hari yang hidup, bukan bahasa yang dipakai
oleh para pengarang pada masa romantisisme. Jika dalam puisi,
dominan musikalitasnya karena sastra anak juga bagian dari kegiatan
“bermain” mereka.
Kedua, seluruh unsurnya fungsional. Artinya, tidak ada bagian
dari sastra anak yang hadir sebagai “pelengkap penderita” atau
sekadar “penggembira” atau alat untuk memperpanjang komposisi.
Berbeda dengan, misalnya, sinetron seri pada televisi kita yang sering,
bagian-bagiannya hanya upaya “penghambaan” pada iklan yang
mensponsorinya.
Ketiga, surprise. Artinya, surprise atau kejutan ini juga erat
kaitannya dengan ciri menyenangkan tadi. Walaupun demikian, ciri
ini masih “didominasi” oleh salah satu ciri sastra anak yang hitam
putih memandang persoalan. Kehitamputihan memandang persoalan
ini harus dilihat sebagai bagian dari ciri spontan, jujur, dan tulus
tersebut.
Keempat, memberi pengalaman baru tentang suatu hal dengan
perspektif lain. Artinya, sering semula seorang tokoh memandang
persoalan itu A, ternyata kemudian ia menyadari bahwa persoalan
itu B. Kesadaran tentang persoalan itu B, tidak muncul tiba-tiba atau
abracadabra.
Kelima, keteladanan yang logis. Maksudnya, seorang tokoh hero
haruslah hadir sebagai hero secara logis. Artinya, kehadirannya itu bisa
diterima akal sehat. Sebagai contoh seorang tokoh layak disebut sebagai
hero karena ia telah berhasil menaklukkan musuh-musuhnya.
Selain hal-hal tersebut, ada hal yang harus dicegah pada sastra
anak -anak sebagai berikut.
a. Penggunaan kalimat yang kompleks dan rumit. Jangankan
anak-anak, orang dewasa pun lebih menyukai dan lebih mudah
memahami kalimat-kalimat tunggal yang pendek daripada
kalimat-kalimat kompleks yang panjang. Oleh karena itu,
gunakanlah kalimat-kalimat yang pendek-pendek dan sederhana.
b. Hindari unsur kekerasan. Kekerasan adalah cara termudah
menyelesaikan persoalan. Penggunaan kekerasan pada sastra anak sama saja dengan mengajari anak mengambil jalan pintas dalam
menyelesaikan persoalan.
c. Hindari unsur klenik atau mistik atau takhayul. Unsur ini pun
sama dengan unsur kekerasan. Unsur ini hanya akan mengajari
anak mengambil jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan.
d. Hindari mengeksplorasi unsur hukuman. Cara terbaik agar kita
menghindari hukuman adalah dengan memberi reward sekecil
apa pun kepada hal-hal baik. Dalam sastra anak , tonjolkanlah
pemberian reward atas prestasi sekecil apa pun. Kalaupun ada
bagian yang terpaksa memberi hukuman, hal itu harus dilakukan
dengan alasan-alasan logis dan penuh kehati-hatian.
e. Hindari eksplorasi kehancuran. Kalaupun mau menggambarkan
tsunami, tonjolkanlah bukan kehancurannya, melainkan
bagaimana orang saling menolong dan kesadaran menerima ujian
dari Tuhan.
Kalaupun terpaksa menggunakan satu dari kelima hal tersebut,
pertimbangannya adalah apakah hal tersebut benar-benar fungsional?
Artinya, betul-betul berfungsi dan tidak harus ditonjolkan dan melalui
proses yang logis atau kausal (perhatikan kasus cerpen “Anak Modern”
atau dongeng “Singa yang Belum Berpengalaman”).
Sebuah karya yang imajinatif pasti memiliki suatu filsafat
atau ajaran dan nasihat yang mencerahi manusia dalam rangka
menyempurnakan diri. Nilai-nilai, pikiran, dan falsafah yang
terkandung membentuk nilai dan sikap kita. Dengan demikian, turut
berperan serta dalam perubahan masyarakat. Sastra merupakan media
yang dalam merekonstruksi atau mendekonstruksi nilai-nilai yang
berlaku dalam suatu masyarakat.
Menanamkan Pendidikan Moral yang Menyenangkan
Pendidikan moral berada di antara harapan dan kenyataan. Kita
mengharapkan putra bangsa sekarang memiliki moral yang baik, tetapi
kita juga tidak bisa memungkiri bahwa moral kita sekarang telah jauh
dengan yang namanya baik. Untuk itu, tugas kita adalah mengubah itu
semua. Kita tentu tidak mau dicap sebagai bangsa yang hanya pintar
dalam arti yang negatif.
Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Selain itu, manusia yang
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan
ruhani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Untuk mewujudkan itu semua tidaklah mustahil, tetapi juga
tidak gampang. Perlu kerja sama antara semua pihak, baik orangtua,
guru, masyarakat serta pemerintah. Orangtua sangat berpengaruh
besar terhadap pendidikan moral si anak. Orangtua harus mampu
memberikan arahan, bimbingan serta teladan kepada anak. Karena
sebelum anak terjun ke dunia luar (sekolah dan masyarakat), mereka
mendapatkan pendidikan di dalam keluarganya.
Selanjutnya, ketika anak berada di sekolah, guru juga harus
berperan aktif. Di sekolah pun, guru jangan hanya mengajarkan ilmu
pengetahuan saja (transfer of knowledge) tetapi juga harus mampu
mendidik, memberikan nilai-nilai kebaikan (transfer of value), dan
memberikan teladan terhadap peserta didik. Lewat ilmu pengetahuan
yang diberikan, guru bisa menyelipkan hikmah atau nilai-nilai yang
terkandung dari ilmu pengetahuan tersebut. Dengan demikian, anak mengerti apa yang sedang dia pelajari dan mampu bijaksana ketika
mencoba menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Selain keluarga dan sekolah, tempat yang juga memberikan
pengaruh besar untuk si anak adalah lingkungan masyarakat. Di
sini, anak akan menemukan berbagai macam sikap dan tingkah laku
individu lain. Dapat dimungkinkan, akan banyak pertanyaan serta
pertentangan yang muncul dalam diri anak ketika ia melihat kondisi
yang sebenarnya. Selanjutnya, yang terakhir adalah sikap pemerintah
yang harus tanggap terhadap apa yang sebenarnya diperlukan untuk
bangsa ini khususnya untuk generasi-generasi penerus bangsa. Di sini,
pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional perlu mengkaji
dan menelaah serta memberikan kebijakan-kebijakan yang sejalan
dengan tujuan yang ingin dicapai.
Mengapa pendidikan moral begitu penting bagi kita? Karena
ketika seseorang telah memiliki moral yang baik, kepribadian yang
menyenangkan, tutur kata yang lembut, dan kepedulian yang tinggi
terhadap sesama, dia akan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang
dapat merugikan, baik merugikan dirinya sendiri, keluarga, masyarakat,
bangsa maupun agama. Ketika nanti dia diamanahi menjadi pejabat
negara, dia tidak akan berani mengambil uang negara karena sifat jujur
telah tertanam dalam dirinya.
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan
hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang
nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya
kepada pembaca. Sebuah karya sastra ditulis oleh pengarang, antara
lain untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Karya
sastra mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku
para tokoh sesuai dengan pandangan tentang moral. Melalui cerita,
sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan atau diamanatkan.
Pengajaran Sastra yang Menyenangkan
Pelajaran sastra selama ini seolah menjadi suatu pelajaran yang
kurang diminati banyak siswa sekolah. Mereka lebih cenderung
memilih pelajaran yang menantang dan bersifat ilmiah. Matematika,
Fisika, dan Kimia merupakan pelajaran favorit yang dianggap paling
digemari dan memberikan manfaat yang lebih dari sebuah puisi atau
cerpen. Pelajaran sastra dirasa hanya diberikan sebagai pelengkap dan
termasuk bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia. Porsi yang diberikan
seolah-olah dianggap tidak terlalu penting nantinya atau dengan kata
lain tidak menunjang untuk kehidupan masa depan.
Ketika sastra diajarkan, ketika itu pula kebosanan biasa melingkupi
suasananya. Cara pengajaran materi yang berulang-ulang memang
membuat para siswa menjadi bosan. Siswa yang telah berat otaknya,
ditambah dengan pelajaran sastra yang menurut mereka membosankan
dari segi cara mengajarkannya. Inilah kendala-kendala yang mungkin
mengakibatkan pelajaran sastra kurang diminati. Biasanya, para guru
pun agak malas ketika harus mengajarkan sastra dan hanya memberikan
tugas sehingga pelajaran sastra hanyalah sebagai pelajaran yang
“numpang lewat”. Selain itu, kurangnya pengetahuan guru mengenai
sastra membuat pelajaran ini terasa monoton dan tidak atraktif. Guru
pun mungkin kurang menyukai apresiasi sastra dan kurang termovitasi
mengajarkan sastra sehingga memengaruhi siswa-siswa yang menjadi
“lesu” untuk mempelajari sastra.
Minat baca khususnya pada buku sastra pada siswa-siswa juga
ikut memengaruhi pengajaran sastra. Biasanya para siswa lebih
perhatian pada sesuatu yang disimak daripada yang dibaca sehingga memang situasi budaya lisan lebih berkembang pesat dari pada budaya
tulisan.
Budaya bersastra dan pengapresiasiannya pada di lingkungan
sekolah masih rendah. Sarana-sarana yang menunjang ke arah sana pun
dirasa kurang. Perpustakaan sekolah masih dirasa minim mempunya
koleksi buku-buku sastra. Kegiatan-kegiatan yang bernilai sastra pada
lingkungan sekolah sebenarnya harus lebih digalakkan dan lebih
terjadwal.
Pelajaran sastra tidak sekadar mengenalkan sastra kepada siswa.
Mendekatkan sastra sangatlah penting, terutama nilai-nilainya yang
berguna memahami hidup. Ungkapan jiwa, nuansa kehidupan,
keindahan, semuanya tercipta dalam sastra. Siswa-siswa dapat
mengembangkan pemikirannya serta talenta dalam menulis sehingga
dapat memaknai hidup.
Mungkin kita pernah mendengar cerita mengenai film “Dead
Poets Society”, yang mengisahkan bagaimana menikmati pelajaran
sastra dari seorang guru dengan cara pengajarannya yang esentrik. Di
situ terlihat bahwa pelajaran sastra merupakan pelajaran yang berbeda
dengan lainnya. Di saat pelajaran yang “berat” bagi otak dengan
tugas-tugas yang bertumpuk, datanglah pelajaran sastra yang sentuhan
pertama yang ringan, tetapi dengan substansi yang begitu berisi,
menjelma menjadi pelajaran yang begitu menyenangkan. Di samping
itu, peran guru memang begitu besar ketika mendekatkan sastra kepada
siswanya. Pendekatan yang dilakukan pun dengan proses yang sedikit
demi sedikit tapi meyakinkan. Pada saat itulah, pelajaran sastra bisa
mengisi kehausan siswa-siswanya akan sesuatu yang baru. Sesuatu yang
membuat ekspresi/ungkapan jiwanya keluar begitu alami yang selama
ini terendap. Karena setiap jiwa mempunyai endapan kata-kata hati
yang dahsyat ketika dikeluarkan.
Pelajaran sastra merupakan pelajaran yang menyenangkan jika
kita benar-benar tahu cara menikmatinya. Tidak kalah menyenangkan
dengan pelajaran lainnya. Bahkan, mungkin ini yang terhebat dari
yang lainnya. Dari segi substansinya pun sangat berbobot, jika kita
membidiknya dengan tepat. Dengan sastra kita dapat menggambarkan
suatu keindahan hidup yang benar-benar harmonis.
Guru harus dituntut menguasai pengetahuan sastra, teori, sejarah,
dan kritik sastra dengan saksama dengan mengikuti perkembangannya
dari waktu ke waktu. Mencintai sastra secara pribadi dengan tulus
berpengaruh juga agar lebih semangat dalam pengajaran sastra.
Apresiasi yang mendalam mengenai suatu karya sastra dapat menjadi
pegangan dalam membimbing siswa untuk mengenal sastra.
Cara pengemasan pengajaran sastra harus dilakukan lebih variatif
dan menarik—mungkin ini agak sedikit populer (pop). Pengemasan
ini dirasa sangat perlu, mengingat dunia mereka penuh dengan
warni-warni kehidupan pop. Lalu, kenapa tidak menggunakan cara
ngepop ketika mengajarkan sastra mencoba tanpa menghilangkan esensi
sastra itu sendiri. Misalnya, mengenalkannya pada syair-syair lagu pop
yang sekarang ini sering memakai puisi sebagai andalan lagu seorang
penyanyi atau grup band. Mudah-mudahan siswa-siswa menjadi
tertarik untuk mempelajari dalam lebih dalam lagi.
Kiat Membaca Sastra yang Menyenangkan
Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan agar kegiatan
membaca karya sastra menjadi menyenangkan.
a. Memilih untuk membaca buku sastra yang ringan dahulu,
misalnya, membaca buku kumpulan cerita pendek. Dari sini kita
mulai dasar-dasarnya. Nanti jika kita merasa sudah bisa membaca
yang lebih berat, ganti dengan buku yang lumayan tebal.
b. Membaca di ruangan yang tidak banyak suara. Lebih baik membaca
di tempat yang sedikit kedap suara alias tidak ramai dan bising.
Misalnya, perpustakaan, taman, dan tempat tidur. Namun, kita
juga bisa menambahkan musik klasik sebagai pendamping kala
kita membaca buku sastra. Kata orang, musik klasik adalah musik
yang mampu membawa imajinasi yang lebih luas.
c. Buatlah diri senyaman mungkin. Saat membaca buku sastra,
buatlah diri senyaman mungkin (asal jangan sambil terbaring
karena dapat merusak mata). Misalnya, memasang alat pendingin
ruangan, duduk di atas bangku, dengan camilan di meja, dsb.
d. Jangan paksakan diri jika sudah tidak mampu membaca. Kita
tidak perlu memaksakan mata kita terus membuka hanya untuk
membaca buku sastra. Membaca bukan untuk penyiksaan,
melainkan membuat ketenangan batin.
e. Tulis sinopsisnya, ceritakan, dan diskusikan pada orang lain.
Berdiskusi soal karya sastra bukanlah hal aneh. Justru kegiatan itu
juga menambah amal. Jadi, yang tahu soal buku yang Anda baca
tidak hanya Anda sendiri, tetapi juga orang lain. Pembahasannya
pun bisa disangkutpautkan ke kehidupan sehari-hari.
f. Tonton dramanya jika buku sastra yang dibaca dijadikan sebuah
drama atau film. Kita bisa menonton dan menghubungkannya
dengan buku sastra yang dibaca. Jadi, bisa kita lihat di mana adegan
yang tidak ada.
Pembinaan Karakter Melalui Tokoh Utama
Sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh
anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak,
yaitu anak yang berusia antara 6–13 tahun. Sifat sastra anak adalah
imajinasi semata, bukan berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak. Hakikat sastra anak harus sesuai
dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik mereka
dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu dan bermula
pada penyajian nilai dan imbauan tertentu yang dianggap sebagai
pedoman tingkah laku dalam kehidupan.
Jenis sastra anak meliputi prosa, puisi, dan drama. Jenis prosa dan
puisi dalam sastra anak sangat menonjol. Berdasarkan kehadiran tokoh
utamanya, sastra anak dapat dibedakan atas tiga hal, sebagai berikut:
1. sastra anak yang mengetengahkan tokoh utama benda mati,
2. sastra anak yang mengetengahkan tokoh utamanya makhluk hidup
selain manusia, dan
3. sastra anak yang menghadirkan tokoh utama yang berasal dari
manusia itu sendiri.
Seperti pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak juga berfungsi
sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak,
serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak
memuat amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak,
mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi pengetahuan
keterampilan praktis bagi anak. Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat
membuat anak merasa bahagia atau senang membaca, senang dan
gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau dideklamasikan,
dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga menuntun
kecerdasan emosinya.
Sehubungan dengan materi pembelajaran sastra anak ini,
pengertian apresiasi yang kita maksudkan di sini adalah pengertian
pertama dan kedua, yaitu (a) kesadaran kita terhadap nilai-nilai seni
dan budaya (sastra anak) dan (b) penilaian atau penghargaan kita
terhadap sesuatu (sastra anak).
Ada tiga batasan apresiasi sastra anak , yaitu sebagai berikut.
1. Apresiasi sastra anak adalah penghargaan (terhadap karya sastra
anak) yang didasarkan pada pemahaman.
2. Apresiasi sastra anak adalah penghargaan atas karya sastra anak
sebagai hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan,
dan penikmatan yang didukung oleh kepekaan batin terhadap
nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra anak.
3. Apresiasi sastra anak adalah kegiatan menggauli cipta sastra anak
dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan,
kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap
cipta sastra anak.
Dalam melaksanakan apresiasi sastra anak itu kita dapat melakukan
beberapa kegiatan, antara lain sebagai berikut.
1. Kegiatan apresiasi langsung, yaitu membaca sastra anak , mendengar
sastra anak ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan menonton
pertunjukan sastra anak dipentaskan.
2. Kegiatan apresiasi tidak langsung, yaitu mempelajari teori sastra,
kritik dan esai sastra, serta sejarah sastra.
3. Pendokumentasian sastra anak .
4. Melatih kegiatan kreatif mencipta sastra atau rekreatif dengan
mengungkapkan kembali karya sastra yang dibaca, didengar atau
ditontonnya.
Sementara itu, ada tiga tingkatan atau langkah dalam apresiasi
sastra anak sebagai berikut.
1. Seseorang mengalami pengalaman yang ada dalam cipta sastra anak ,
ia terlibat secara emosional, intelektual, dan imajinatif.
2. Setelah mengalami hal seperti itu, kemudian daya intelektual
seseorang itu bekerja lebih giat menjelajahi medan makna karya
sastra yang diapresiasinya.
3. Seseorang itu menyadari hubungan sastra dengan dunia di luarnya
sehingga pemahaman dan penikmatannya dapat dilakukan lebih
luas dan mendalam.
Setidaknya, terdapat lima manfaat bagi kehidupan ketika
mengapresiasi sastra anak , sebagai berikut:
(a) manfaat estetis,
(b) manfaat pendidikan,
(c) manfaat kepekaan batin atau sosial,
(d) manfaat menambah wawasan, dan
(e) manfaat pengembangan kejiwaan atau kepribadian.
Jika “kehidupan” seperti tecermin dalam karya sastra dipandang
sebagai “model” kehidupan manusia, “model” kehidupan itu dapat
diadopsi dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari dan yang
buruk atau tidak terpuji tentu harus ditinggalkan oleh pembaca atau
penikmat karya sastra. Jika nilai-nilai moral seperti tecermin dalam
karya sastra dipahami, dihayati, dan lalu diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari dalam kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
tidak tertutup kemungkinan kita bisa mengembangkan sikap mental
yang positif, kuat, tangguh, dan sejenisnya. Dengan demikian,
kita mampu bersikap, berpikir, dan berperilaku positif yang tidak
hanya menguntungkan diri kita sendiri, tetapi juga menguntungkan
pihak-pihak lainnya.
Sebagai contoh, novel Uncle Tom’s Cabin karya Harriet Beecher
Stowe mengisahkan tentang perbudakan di Amerika Serikat. Ketika
novel ini ditulis, di negara itu telah terjadi silang pendapat tentang
adanya perbudakan. Kelompok yang pro dengan perbudakan terdiri
dari orang-orang kulit putih yang umumnya berada di Amerika
belahan selatan, yang memiliki banyak budak atau yang diuntungkan
dengan adanya perbudakan itu. Sementara, kelompok yang kontra adalah mereka yang berada di Amerika belahan utara (didukung
oleh kelompok kulit hitam). Kelompok yang pertama tetap ingin
mempertahankan perbudakan, sedangkan kelompok yang kedua
ingin menghapuskan dengan dasar pemikiran masing-masing. Lalu,
muncullah novel Uncle Tom’s Cabin yang mengisahkan betapa kejamnya
para penjaga budak, para tuan budak atau pemilik budak, dan betapa
menderitanya para budak. Novel ini dikatakan sebagai novel yang
memiliki daya provokatif yang luar biasa karena tak lama kemudian
terjadi perang saudara (civil war) di Amerika.
Aspek moral yang dapat dipetik dari novel ini adalah agar
setiap manusia yang juga sebagaimana umat Tuhan “dimanusiakan”
sebagaimana manusia-manusia lain. Kelompok manusia yang satu
hendaknya tidak “memperbudak” manusia atau kelompok manusia
yang lain. Ini juga mengisyaratkan akan perlunya cinta sesama umat.
Dalam kaitan itu, pembaca dihadapkan pada sikap dan tingkah
laku tokoh-tokoh yang baik dan kurang terpuji. Terhadap sikap dan
perilaku tak terpuji itu bukan berarti bahwa pengarang menyarankan
kepada pembaca untuk bersikap dan berperilaku demikian. Sikap dan
perilaku tak terpuji itu hanyalah sebuah model, yakni model yang harus
dihindari atau ditolak oleh pembaca.
Besar kecilnya peranan dalam masyarakat banyak ditentukan
oleh peranan konsumen sastra dalam masyarakat yang bersangkutan.
Nilai-nilai moral dalam karya sastra akan tidak banyak artinya jika
para anggota masyarakat yang bersangkutan tidak memiliki kemauan
untuk membaca. Langkah awal untuk bisa membentuk sikap mental
yang baik melalui karya sastra adalah membaca karya sastra itu sendiri.
Melalui kegiatan pembacaan terhadap karya sastra, seseorang bisa
mengambil manfaat dari hasil pembacaan itu, dengan cara mencatat
nilai-nilai moral yang baik dan yang buruk. Nilai-nilai moral yang baik bisa diadopsi dan lalu dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat;
sementara nilai-nilai moral yang buruk ditinggalkan.
Menurut Horace, fungsi utama sastra adalah delce et utite:
menghibur dan mendidik. Akan tetapi, kedua fungsi itu tidak dapat
dipisahkan. Demikian pula dengan fungsi sastra anak . Jika hanya
memiliki fungsi menghibur, mungkin fungsi ini mirip dengan fungsi
lawakan/dagelan yang hanya menghibur. Namun, jika hanya fungsi
mendidik yang ditonjolkan, artinya sastra anak fungsinya sama dengan
buku-buku teks pelajaran yang hanya menonjolkan fungsi mendidik.
Dengan demikian, sastra anak tersebut menjadi sangat membosankan.
Oleh karena itu, kedua fungsi tersebut satu sama lain tidak dapat
dipisahkan. Keduanya harus merupakan kesatuan. Penekanan pada
salah satu fungsinya, hanya akan membuat sastra anak itu hadir “tidak
alamiah”, misalnya menyerupai propaganda.
Misalnya, betapa mengasyikkannya ketika anak-anak
mendengarkan atau membaca cerita-cerita “Si Kabayan ,” “Bawang
Merah Bawang Putih ,” “Petualangan Sinbad ,” “Mowgli Anak Rimba ,”
dan “Cinderella .” Cerita-cerita tersebut di dalamnya memiliki kedua
fungsi secara baik. Cerita tersebut selalu memukau anak-anak. Disadari
atau tidak kedua fungsi itu benar-benar menyatu pada cerita-cerita
tersebut.
Sering ketika anak-anak masih balita, kita—orangtua—tidak
menyadari fenomena ini. Orangtua sering kesal ketika anaknya meminta
mereka bercerita/membacakan satu cerita secara berulang-ulang.
Berbeda halnya ketika orangtua kehabisan cerita, ia pun akan
mengulang-ulang suatu cerita. Mereka tidak sadar, ketika anak meminta
satu cerita dibacakan/diceritakan berulang-ulang, mereka sudah mulai
mampu mengidentifikasi cerita. Bahkan, mampu mengidentifikasi
unsur-unsur bahasa dalam cerita. Tidak mengherankan anak-anak
yang memiliki tradisi cerita di lingkungan rumahnya akan jauh lebih cepat belajar berbahasa, khususnya belajar membaca. Artinya, sastra
anak bisa menjadi media belajar bahasa.
Karya sastra yang menyenangkan sering di dalamnya ada
keteladanan dan ada petualangan-petualangan. Keteladanan itu juga
menyenangkan atau menggembirakan. Begitu pula petualangan itu
amat menyenangkan. Apalagi petualangan itu bersama tokoh-tokoh
teladan.
PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS SASTRA:
Solusi Pendidikan Moral yang Efektif
Rohinah M. Noor
Post a Comment for "Pembinaan Karakter Anak Sejak Usia Dini Berbasis Sastra Anak"