Hubungan antara Sastra, Agama, dan Revolusi Sosial

Hubungan antara Sastra, Agama, dan Revolusi Sosial - Istilah sastra berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tulisan atau karangan. Sastra biasanya diartikan sebagai karangan dengan bahasa yang indah dan isi yang baik. Bahasa yang indah artinya dapat menimbulkan kesan dan menghibur pembacanya. Isi yang baik artinya berguna dan mengandung nilai pendidikan. Indah dan baik ini menjadi fungsi sastra yang terkenal dengan istilah dulce et utile . Bentuk fisik dari sastra disebut karya sastra. Penulis karya sastra disebut sastrawan.

Sastra memiliki beberapa ciri, yaitu kreasi, otonom, koheren, sintesis, dan mengungkapkan hal yang tidak terungkapkan. Sebagai kreasi, sastra tidak ada dengan sendirinya. Sastrawan menciptakan dunia baru, meneruskan penciptaan itu, dan menyempurnakannya.

Sastra bersifat otonom karena tidak mengacu pada sesuatu yang lain. Sastra dipahami dari sastra itu sendiri. Sastra bersifat koheren dalam arti mengandung keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi.

Sastra juga menyuguhkan sintesis dari hal-hal yang bertentangan di dalamnya. Lewat media bahasanya sastra mengungkapkan hal yang tidak terungkapkan.


Tujuan Sastra dan Agama

Agama adalah eksponen (yang memegang peranan) pengertian kehidupan tertinggi yang mungkin diterima oleh sebagian besar masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Agama merupakan suatu
pengertian terhadap hal-hal yang harus tak dielakkan dan kemajuan yang tidak dapat ditolak oleh semua anggota masyarakat. Karena itu, agama selalu berlaku dan tetap berlaku sebagai dasar penilaian perasaan manusia. Bila perasaan itu mendekatkan orang-orang kepada ideal yang ditunjukkan oleh agama mereka dan mereka selaras dengannya, perasaan itu baik. Bila perasaan itu menjauhkan orang-orang dari ideal yang ditunjukkan oleh agama mereka dan mereka berlawanan
dengannya, perasaan itu buruk.

Hubungan antara sastra dan agama lainnya yang tidak boleh dilupakan adalah hubungan ketandaan yang menjadi pembahasan dunia semiotik. Dalam teori semiotik , karya sastra dipandang struktur
tanda yang bermakna. Teori semiotik berangkat dari pandangan bahwa fenomena sosial dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Tanda itu mempunyai dua aspek, yaitu penanda dan petanda.

Penanda adalah bentuk formal yang menandai sesuatu, sedangkan petanda adalah yang ditandai dengan penanda. Sebagai contoh adalah kata ibu yang merupakan penanda bagi orang yang melahirkan. Orang yang melahirkan itu menjadi petanda. Dalam teori semiotik, yang dicari
adalah tanda yang mengandung hubungan sebab akibat antara penanda dan petandanya, diistilahkan dengan indeks. Misalnya, kata diagnosis (sic) yang merupakan penanda dunia kesehatan dan kata kuliah yang berhubungan dengan perguruan tinggi.

Karena setiap agama tentu tidak akan mengajarkan penganutnya pada perilaku berseberangan dengan kemanusiaan. Namun, ajaran itu akan selalu berpijak dan mengajak pada terciptanya harmonitas sosial yang tenteram dan mencerahkan. Di sini, kesejatian manusia sebagai hamba yang peduli pada sesama diuji secara sungguh-sungguh.

Kehadiran ruh dan pijar keagamaan yang mampu menghidupkan kepekaan sosial manusia menjadi dibutuhkan. Salah satu api pemantik dari semua itu adalah sastra. Oleh karenanya, sangat beralasan
ketika kita berharap untuk mengangkat kembali peran sastra dalam kaitannya dengan dinamika kehidupan agama dan keberagamaan kita. Lebih-lebih, di Indonesia yang (konon) penghuninya sehimpunan manusia religius yang taat perintah Tuhan.

Jika Al-Quran dikatakan oleh Yusuf Qaradhawi dalam bukunya Islam Bicara Seni sebagai agama dan ilmu pengetahuan, sastra dan seni, pemenuh hajat ruhani, pemuas logika, pembangun jiwa, pemberi
kenikmatan rasa, dan pengasah lisan, alangkah indahnya jika sastra kita akui sebagai penyambung lidah Al-Quran yang akan membantu menjabarkan isi dari kalam Tuhan yang perlu diperhatikan manusia.

Dengan demikian, ketika sastra disampaikan kepada publik, ia mampu kembali mengikat hati setiap hamba yang pernah berlari dari kebenaran. Bukankah sastra juga tidak terlalu sulit, bila ia membantu
peran Al-Quran dalam mencerahkan jiwa dan pikiran manusia?

Dalam konteks ini, kita bisa merujuk kembali apa yang pernah diungkapkan Romo YB Mangunwijaya bahwa karya sastra yang baik selalu bernilai religius. Artinya, sastra akan selalu mengajak menuju kehidupan yang lebih baik dan benar. Paling tidak, sastra akan menyajikan bahan perenungan yang memadai bagi manusia untuk secara arif memilih di antara dua jalan: kebaikan dan keburukan, dengan disertai gambaran (tamsil) akibat-akibat yang bakal ditimbulkannya. Manusia yang masih memilki kepekaan pikiran dan kebeningan hati tentu akan memilih menghindar dari kesengsaraan dengan jalan menempuh berbagai laku kebajikan.

Dengan begitu, pada hakikatnya, agama maupun sastra, bermuara pada rasa atau jiwa. Agama, misalnya, meskipun juga membahas dan menyodorkan pusparagam hukum-hukum formal,
juga mengetengahkan kajian-kajian kritis tentang jiwa. Bagaimana seyogianya manusia melakukan pembersihan terhadap hati atau jiwa pemeluknya, merupakan salah satu kajian inti agama. Demikian juga halnya dengan karya sastra. Setiap karya sastra bisa dikatakan sebagai ungkapan batin sang penulis. Gelora batin ini merupakan bentuk kegelisahan sekaligus harapan mereka terhadap kemanusiaan yang semakin ditanggal-tinggalkan. Jiwa para sastrawan terpanggil untuk memberikan alternasi. Jadi, agama dan sastra sama-sama mengacu pada jiwa.

Sebagai contoh adalah kata ka’bah dalam judul roman Di
Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka . Kata ka’bah dalam roman
tersebut tidak semata-semata menunjuk pada Ka’bah yang ada di
kota Makkah, tetapi juga Ka’bah imajiner yang ada dalam roman
tersebut. Pembaca bisa memahami ka’bah dalam roman ini dengan
melihat hubungan antara Ka’bah dan seorang Muslim. Mengunjungi
Ka’bah adalah keinginan hampir setiap Muslim karena di sanalah
dia merasa dapat bertemu Tuhan dan menemukan ketenangan. Kata
ka’bah bagaimanapun tetap dikatakan bersumber dari sebuah agama,
yaitu Islam. Akan tetapi, maknanya sudah dipindahkan oleh Hamka
ke dalam romannya.
“Agama adalah bela rasa (atau cinta),” demikian kata peneliti
agama-agama dunia, Karen Armstrong . Dalam hal ini, lagi-lagi, sama
dengan sastra. Sastra juga menjadikan rasa sebagai landasan pijak
dalam menunjukkan eksistensinya. Karena itu, akan sangat bijak jika
mempersandingkan keduanya untuk melahirkan konformitas dalam
segala hal dengan kembali ke nurani. Dalam konteks yang lebih rapat,
hubungan antara sastra dan agama saling mengikat dan terkait. Hal itu bisa dibuktikan, misalnya pada literatur gereja, yang telah melahirkan
para pendeta sekaligus sastrawan sekelas Tertulian, penulis Testimony of
The Christian Soul (1869), St. Agustinus of Tagaste , penulis The Ninth
Book of The Confession (1897), St.Francis de Sales, penulis On The Love
of God. St. Teresa of Lisieux, penulis The Little Flower, dan lainnya.
Sementara, dalam tradisi Yahudi di Spanyol (756–1031), antara
lain Solomon ben Gabirol (1021–1069). Karya-karyanya diabadikan
oleh Israel Zangwil dan Israel Davidson dalam Selected Religious Poems
of Solomon ben Gabirol (1945). Kemudian, Judah ha-Levi (186–1145),
penyair Yahudi yang puisinya “Ode to Zion” menjadi lagu wajib
para pandu Israel pada setiap acara perkemahan di Kibutz dan lain
sebagainya.

Dalam literatur sejarah sastra (Islam) apa yang biasa disebut sastra
Islami itu bisa kita temukan. Misalnya, pada karya-karya Hadaratus
Syaikh Imam Syafii , Ibnu Hazm, Abu A’la Alma’ari, Hathim At
Thai, Abu Nuwas Al Hani, Abu Faraj al Asfahani, Syauqi Bey, hingga
Muhammad Iqbal. Dari kalangan sufi, orang tidak akan melupakan
Jalaluddin Rumi , Hafiz, Attar, Al Hallaj, Rabiah al Adawiyah, Abu
Yazid al Bustami dan masa-masa subur para penyair sufi Islam pada
abad ke-10–14. Sementara, dalam khazanah kesusastraan Indonesia
kita temukan pada karya-karya Hamzah Fansuri , Ronggo Warsito ,
Danarto, Kuntowijoyo , Abdul Hadi WM, Emha Ainun Najib , Mustofa
Bisri , Acep Zamzam Noer, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Helvy Tiana
Rosa serta siapa saja sastrawan yang setia menyuarakan pesan-pesan
agama, moralitas maupun humanisme.

Syauqi Dlaif dalam bukunya Fi Ashr Al Adab Al Jahiliy mengatakan
bahwa diturunkan kitab suci (Al-Quran) yang sangat estetis adalah
upaya penghargaan Tuhan kepada para sastrawan. Maka, tak heran
jika suatu ketika Nabi Muhammad juga berpuisi, yaitu saat Perang
Khandaq. Selain itu, sahabat Nabi Saw., Hasan Bin Tsabit, selalu membuat semangat Nabi dalam jihad membela hak muslimin dengan
kaum kafir, juga penyair Ka’ab bin Zuhair yang membacakan puisi di
depan Banat Su’ad, kemudian Nabi memberinya penghargaan.
Belakangan, khalifah penerus estafet Islam seperti Abu Bakar,
Umar, Utsman, dan Ali juga berpuisi. Setelah itu, tradisi ini berkembang
sampai ke tangan kyai dan pesantren. Bisa jadi karena pentingnya sastra,
sampai di dalam Al-Quran memberikan kedudukan untuk dijadikan
nama dari salah satu surah, yaitu surah Al-Syu’arâ` (Para Penyair).

Budayawan Muslim Prof. DR. Abu Ridha mengatakan dalam
bukunya Al Adab Al Islami Qudhotan Wa Binaan, bahwa Al-Quran
dengan bahasa yang sangat estetik (sebagai sastra mahatinggi) telah
membuktikan mampu mengubah Arab Baduwi yang sangat “tolol”
menjadi tercerahkan. Dengan demikian, cukup beralasan jika para
meneliti menyimpulkan bahwa tujuan agama dan sastra adalah sama,
yaitu demi tercapainya moral yang baik dalam masyarakat. Intinya,
agama dan karya sastra tidak hanya berkelana pada ranah esoteris saja,
tetapi juga berkecimpung pada ranah eksoteris. Tidak hanya itu, agama
dan sastra juga senantiasa bergerak dari wilayah outward ke inward,
juga sebaliknya.

Peran Sastra dan Agama dalam Sejarah

Melalui potensi berbagai indra yang dimiliki manusia, manusia berkreasi
sehingga mencuatlah apa yang dinamakan sastra. Sastra sebagai ekspresi
luapan kegelisahan manusia semakin marak mendekorasi dunia. Karena
menurut Sutardji Calzoum Bachri, manusia sebagai makhluk imajinasi
Tuhan pada gilirannya menciptakan pula imajinasi. Para penyair sebagai
makhluk yang profesinya menciptakan imajinasi atau mimpi. Penyair
menciptakan imajinasinya lewat kata, sebagaimana Tuhan menciptakan
mimpi-Nya lewat firman.

Sastra adalah sebuah produk budaya, kreasi pengarang yang hidup
dan terkait dengan tata kehidupan masyarakatnya. Sastra berada dalam
tarik-menarik antara kebebasan kreasi pengarang dan hubungan sosial
yang di dalamnya hidup etika, norma, aturan, kepentingan ideologis,
bahkan juga doktrin agama. Sastra menjadi produk individual yang
pada saat ia berada di tengah masyarakat, seketika itu pula ia dipandang
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, ketika
sastrawan mengusung kebebasan kreasinya dan kemudian menjelma
dalam bentuk karya sastra, seketika itu pula ia berhadapan dengan
segala aturan, moral, etika, dan konvensi yang hidup dalam masyarakat
yang bersangkutan.

Keberpihakan serta pembelaan yang dilakukan oleh sastra, pada
akhirnya akan memberikan impresi yang luas pada kehidupan sosial.
Terlepas apakah hal itu berangkat dari agama atau nilai kemanusiaan
murni, sebuah protes dan keberpihakan pada manusia merupakan
tafsir aktual dari ajaran agama. Betapa pun demikian, tidak lantas sastra
menjadi semacam jaminan untuk selalu (mampu) mengarahkan orang
berbuat baik. Orang yang menyukai sastra belum tentu berperilaku
sosial yang baik. Malah bisa jadi sebaliknya. Namun, jika muatan serta
pesan sastra yang baik (baca: religius) tersebut benar-benar diamalkan
dan dipantrikan dalam sikap hidup, niscaya ia akan serta-merta
memantul lewat perilaku yang dekat dengan kebaikan. Dengan kata
lain, hingga di sini “tugas” luhur sebuah karya sastra sudah tunai.
Masalah ia akan digunakan sebagai apa, itu merupakan persoalan yang
lain, yakni pada tataran apresiasi.

Sesungguhnya, jarak antara sastra dan agama, maupun sastra
dengan manusia, selamanya tidak akan pernah ada. Ia adalah kesatuan
yang padu, berjalin berkelindan guna secara sirkular mengembuskan
pesan kemanusiaan ke segala arah. Agama sejatinya bukanlah “pedang”
yang memenggal kreativitas sastra.

Ada beberapa hal yang bisa dijadikan pijakan bahwa sastra sebagai
“tafsir” agama relatif mudah diterima. Pertama, muatan sastra religius
sanggup melejitkan gairah keagamaan seseorang untuk kian dekat
kepada Tuhan. Kedua, dengan demikian, jika muatan agama telah
terpatri kuat dan tepat, rasa kemanusiaan akan turun berkobar oleh
muatan sastra yang—di sisi lain—humanis tersebut. Sebab, secara
universal, ajaran agama tidak akan pernah bertentangan dengan pesan
kemanusiaan.

Premis itu bisa kita cari bandingannya di dunia tasawuf (sufistik).
Betapa karya-karya sastra sufi juga merupakan “percikan” dari pesona
Al-Quran sebagai karya agung yang sastrawi. Karenanya, orang-orang
sufi, di satu sisi, tampak lebih bisa berakrab-akrab dengan Tuhan.
Sementara di sisi lain, mereka bisa lebih menghargai pluralisme
kemanusiaan. Oleh karena muatan sastra yang universal itulah, ia nyaris
bisa diterima oleh setiap kalangan dari segala lapis.

Salah satu contoh adalah mahakarya Jalaluddin Rumi, Matsnawi.
Pustaka sastra Islam terpanjang sepanjang sejarah ini, dalam
perjalanannya, bukan hanya digandrungi oleh para peminat sastra
Muslim, melainkan juga amat diminati oleh begitu banyak orang di
seantero dunia. Mulai dari Timur hingga belahan bumi ujung Barat,
mulai dari Arab Badui yang Islam, artis Hollywood yang Nasrani,
hingga biksu Buddha di pedalaman India. Bahkan, seorang penulis
Bengala di abad ke-15 pernah berkomentar, “Seorang Brahmana yang
sesat akan membaca Matsnawi”.

Menurut Sutardji Calzoum Bachri, jika kita ingin merealisasikan
suatu kehidupan politik yang kultural, para politikus sebaiknya
mencermati sastra. Puisi sebagai inspirasi atau sebagai dorongan
untuk menciptakan keputusan dan kebijakan sosial maupun politik,
bukan sebagai kuda tunggangan sebagaimana tak jarang terjadi pada
momen-momen menjelang Pilkada.

Oleh karena itu, sastra seharusnya menjadi satu alat untuk
membantu mengarahkan manusia pada satu tatanan yang bermakna
sehingga manusia mampu membantu penguasa untuk menjaga
stabilitas Indonesia agar terhindar dari kegoncangan dari terpelesetnya
bangsa ke dalam jurang kebobrokan moral serta menghindarkan
penguasa dari melakukan kecurangan.

Sastra Sebagai Kontrol Sosial

Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat
yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya suatu
sistem sosial atau proses bermasyarakat. Menurut Astrid Susanto seperti
yang dikutip oleh Mafud (1997: 47) mengambil suatu kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan kritik sosial adalah suatu aktivitas yang
berhubungan dengan penilaian (juggling), perbandingan (comparing),
dan pengungkapan (revealing) mengenai kondisi sosial suatu masyarakat
yang terkait dengan nilai-nilai yang dianut ataupun nilai-nilai yang
dijadikan pedoman. Adapun tindakan mengkritik dapat dilakukan
oleh siapa pun termasuk sastrawan dan kritik sosial merupakan suatu
variabel penting dalam memelihara sistem sosial yang ada.
Karya sastra merupakan sebuah dialog yang menolak adanya
keasingan, ketidakjujuran, dan penindasan. Dengan demikian, karya
tersebut selalu membawa aura kekuatan dengan merasakan hidup dalam
suatu gairah yang mungkin dapat memecahkan masalah kebudayaan
kita. Mereka cukup sadar, jika karya sastra yang dibuatnya akan lebih
memiliki posisi tawar atau lebih berharga dengan menonjolkan sisi
penyadaran diri masyarakat. Hal tersebut bukan sebatas pada sebuah
jendela yang menangkap suatu keadaan di luar tanpa ada misi yang
jelas.

Sastrawan merupakan pilar terpenting dalam menjaga moral
dan kebudayaan kita. Meskipun seorang sastrawan bergerak dengan
menggunakan bendera sendiri, namun sekiranya mereka patut untuk
dipersandingkan dengan para pemikir dalam bidang yang lainnya.
Karena semangat nasionalis selalu muncul dalam diri dan karya
karyanya. Selama ini kita hanya yakin bahwa arus perubahan sosial
hanya dapat dilakukan oleh beberapa golongan, seperti ulama, politisi
dan kaum intelektual dengan mengesampingkan peran sastrawan. Oleh
karena itu, saat sekarang sudah selayaknya kita memasukkan kelompok
sastrawan sebagai garda terdepan untuk menjaga kebudayaan dan
pelopor perubahan sosial.

Karya sastra sebagai lembaga masyarakat yang bermediumkan
bahasa memiliki keterkaitan yang erat dengan sosiologi pengarangnya.
Latar belakang pengarang memiliki peran yang besar dalam memberikan
nuansa dan nilai dalam proses penciptaan karya sastra. Latar belakang
tersebut, di dalamnya merangkum berbagai macam kondisi di mana
sang pengarang memijakkan kaki, entah itu kondisi politik yang sedang
bergejolak, maupun ideologi pengarang itu sendiri. Oleh karena itu,
bahasa yang digunakan di dalam proses penulisan karya sastra dapat
dikatakan sebagai media yang tidak bersifat individual, melainkan di
dalamnya mengandung sifat evolusi sosial.

Kondisi sosial masyarakat memberikan arahan yang nyata bagi para
pengarang dalam proses penciptaan. Dalam teori yang dikemukakan
oleh Gramsci mengenai teori hegemoni, seni (dan sastra) digunakan
sebagai alat untuk melakukan hegemoni dengan cara melakukan
dominasi terhadap budaya dan ideologi masyarakat. Hal ini bertujuan
untuk melakukan gerakan kontrol sosial.
Kasus korupsi dan penyelewengan lainnya merupakan akibat dari
kekuasaan yang terlepas dari kontrolnya. Disebabkan adanya potensi
penyelewengan itulah, kekuasaan itu perlu dikontrol oleh masyarakat dengan cara menyampaikan kritikan kepada pihak penguasa.

Meskipun peran kontrol terhadap kekuasaan telah diberikan kepada
lembaga-lembaga tertentu yang ditetapkan melalui undang-undang,
peran kontrol sosial dari masyarakat tetap harus dijalankan. Sebab,
kadang-kadang lembaga-lembaga yang ditunjuk tersebut juga
melakukan penyimpangan. Kontrol sosial masyarakat harus terus
dilakukan sebab negara bukan hanya milik pemimpin, penguasa,
pejabat, dan aparat, melainkan juga milik semua rakyat. Semua elemen
bertanggung jawab terhadap nasib bangsa ini. Salah satu wujud dari rasa
tanggung jawab masyarakat terhadap bangsa ini adalah menyampaikan
kritikan yang konstruktif untuk membangun bangsa ini.

Konsep kebebasan berekspresi sastra ini pula yang menyebabkan
karya sastra mengandung gagasan-gagasan bebas yang tidak terikat.
Sifat bebas ini pula yang mendorong penulis karya sastra untuk
menyampaikan kritik sosial. Dalam kehidupan nyata, kita sering
tidak bebas untuk menyampaikan kritik terhadap kondisi yang tidak
sesuai dengan harapan masyarakat. Kita harus hati-hati mengkritik
presiden, pemimpin, dan pemerintah sebab bisa-bisa kita ditangkap
polisi karena dianggap menyebarkan fitnah dan melawan pemerintah.
Tetapi, bila kritik disampaikan dengan karya sastra, kemungkinan kita
akan lebih aman sebab karya sastra dianggap bersifat fiksi, imajinatif,
dan dibuat-buat. Beruntunglah kita bila karya sastra dianggap seperti
itu sebab akan lebih memudahkan sastrawan untuk menyampaikan
kritik sosial yang lebih tajam.

Karya sastra merupakan salah satu cerminan nilai-nilai budaya
dan tidak terlepas dari sosial budaya serta kehidupan masyarakat
yang digambarkannya. Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan
kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam
pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat
dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran atau yang hendak digambarkan.

Sastra sebagai cermin masyarakat menelaah sampai sejauh mana
sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Fungsi sosial
sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan
dengan nilai sosial dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi
sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat
bagi pembaca.

Oleh karena itu, jika karya sastra digunakan sebagai media untuk
menyampaikan kritik terhadap realitas sosial yang tidak berpihak
kepada kepentingan masyarakat, karya sastra sesungguhnya memiliki
fungsi sosial. Fungsi sosial karya sastra diwujudkan dengan cara
memberikan respons terhadap fungsi-fungsi kekuasaan yang dilakukan
oleh para pemimpin. Respons yang diberikan karya sastra dalam bentuk
kritik sosial yang diarahkan kepada pemimpin yang tidak bersungguhbersungguh
dalam membela kepentingan rakyat. Pesan-pesan yang
disampaikan melalui karya sastra memberikan peringatan kepada
orang-orang yang telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Fungsi
sosial karya sastra ini diharapkan dapat memberikan penyadaran
kepada manusia untuk melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi
kepentingan orang banyak.

Kita juga sepertinya harus setuju dengan pendapat Quraish Shihab
yang mengatakan bahwa peran intelektual Muslim dalam kehidupan
masyarakat harus menjadi kontrol sosial. Hal ini tak salah juga jika
kita bebankan tugas ini menjadi tugas para sastrawan, di antaranya
dengan melakukan: (a) mempertebal dan memperkukuh iman kaum
Muslim sehingga tidak tergoyahkan oleh pengaruh-pengaruh negatif
dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi atau paham-paham yang membahayakan negara, bangsa, dan agama; (b) meningkatkan
tata kehidupan umat dalam arti yang luas, dengan mengubah dan
mendorong mereka untuk menyadari bahwa agama mewajibkan
mereka untuk berusaha menjadikan hari esok lebih cerah dari hari ini.
Hal ini tidak dapat dicapai kecuali dengan kerja keras serta kesadaran
akan keseimbangan hidup dunia dan akhirat; (c) meningkatkan
pembinaan akhlak umat Islam sehingga memiliki sikap dan perilaku
yang baik dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara.
Untuk mewujudkan etos kerja dan ukhuwah Islamiyah dalam rangka
mewujudkan kerukunan beragama.

Sastra Sebagai Jalan Menuju Revolusi

Dalam lembar sejarah panjang peradaban, kita tidak bisa menolak
bahwa puisi terus-menerus hidup bersama perjuangan. Ia bebas
berjuang tanpa terikat batasan waktu, ruang dan tempat, mengalir
bagai air dan bergulir laksana angin merasup ke tiap-tiap celah. Ia
telah menjadi wujud atas perkawinan akal dan perasaan, sel-sel majas
baik konotatif maupun denotatif yang sering menyulut api perubahan
dan menjadi semacam lampu ajaib yang sanggup menerangi kelamnya
politik. Karenanya tak mengherankan, saat Kennedy dilantik menjadi
Presiden Amerika Serikat, ia langsung mengingat peran puisi. Sebagai
buktinya, ia mengundang Robert Frost, penyair besar Amerika pada
pertengahan abad ke-20 untuk membacakan puisi di depannya. Usai
penyair besar itu turun mimbar, sang Presiden yang baru dilantik itu
kemudian memberikan ungkapan seperti di atas.

“Kalau politik kotor, puisilah yang akan membersihkannya.”
–John F. Kennedy –

Kisah itu hanya cuplikan kecil, betapa puisi telah disadari menjadi
bagian penting dari perjuangan dan sejarah suatu bangsa. Di luar itu,
puisi secara intens terus mewarnai panggung sejarah. Karena alasan itu
pula kenapa puisi “Gilgamesh” diguratkan dengan huruf paku pada
bongkahan lempung dalam bahasa Sumeria di Mesopotamia sekitar
5.000 tahun yang lalu. Selain “Gilgamesh”, ada juga syar-syair purba
seperti “Kidung Agung”, “Ayub”, “Mazmur”, “Amsal”, serta syair-syair
mitologi Yunani sebagaimana terdapat dalam Iliad dan Odyssey karya
Homerus, kitab-kitab puisi kebijaksanaan Tao dan Konfusius, atau
tradisi sastra lokal seperti pantun, gurindam, seloka, semuanya disajikan
dalam syair-syair yang begitu indah. Bukankah dari temuan puisi jenis
purba itu bisa diambil benang merah, bahwa perjalanan suatu bangsa
(kerajaan) selalu beriringan dengan napas puisi.

Seiring perkembangan sejarah peradaban manusia, puisi juga
terus-menerus mengambil semakin banyak peran dan pengaruhnya
dalam kemajuan kehidupan manusia. Kemajuan peradaban Arab
Jahiliyah, bahkan telah menempatkan puisi dan penyair dalam posisi
tertinggi dalam kelas sosialnya, yang pengaruhnya melebihi ketua
suku, bangsawan bahkan saudagar yang kaya raya. Menurut pengamat
kebudayaan Arab ternama Muhammad bin Sulam al-Jumahi, dalam
bukunya Thabaqat Fuhul asy-Syuara— ketika seorang Nabi diutus di
tengah-tengah mereka, tantangan terberat adalah para penyair tersebut.
Sebab, ketika wahyu Al-Quran turun, seorang penyair ulung Jahiliyah
langsung hadir di tengah-tengah masyarakat dengan puisi-puisi
terbarunya dan nyaris bisa menyaingi keindahan bahasa Al-Quran.

Nama-nama penyair itu seperti Imri’ al-Qois, Abu Mihjan ats-Tsaqafi,
Abu ath-Thamhan al-Qaini, Dhabi bin al-Harist al- Barjami, Suhaim
Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy al-Haritsi, Syabil bin-Waraqa, dan lain sebagainya.

Selain penyair-penyair ulung yang turun sebagai penyaing Nabi,
turut pula penyair-penyair ulung Jahiliyah yang berada di barisan
Nabi, yaitu Ka’ab bin Zuhair, Abdullah Ibnu Rawahah, Hindun binti
Utbah, Hasan bin Tsabit, dan Labid bin Rabi’ah. Kelima penyair
ini melalui puisi-puisinya yang bergelora punya kisah sendiri yang
sangat mengharukan saat turut mengiringi perjuangan Nabi melawan
kafir-Quraisy dan juga dalam pembentukan awal negara Madinah.
Satu contoh, diriwayatkan saat Perang Mu’tah pasukan Ibnu Rawahah
yang jumlahnya hanya sekitar 25.000 orang sanggup mengalahkan
kedigdayaan pasukan Romawi yang berjumlah lebih dari 250.000
orang. Apa yang menjadi rahasia ketidakgentaran pasukan Ibnu
Rawahah yang sedikit itu? Tentu puisi. Ibnu Rawahah menjadikan
puisi-puisinya sebagai slogan perjuangan para sahabat yang gemetar dan
hatinya ciut saat melihat barisan tempur Raja Hercules (Romawi). Saat
melihat pasukannya yang hendak mundur, ia selalu tampil di depan
dan menyenandungkan puisinya.

duhai diri...
bila kamu tidak terhunus pedang di medan juang
suatu saat, kamu tetap akan gugur
meski kamu hanya tidur di atas ranjang

Karena itu, tak berlebihan jika Nabi sering memberi apresiasi pada
penyair Jahiliyah itu dan tidak sedikit memuji lalu mendoakannya
(Al-Ashma’i, 1971).
Puisi-puisi di atas tidaklah lahir dari kekosongan budaya, tetapi
dalam konteks sosial dan realitas di zamannya. Menurut Adonis,
puisi-puisi jenis itu sebenarnya lepas dari kepentingan agama dan
politik kekuasaan. Ia bisa menyentuh hati umat dan melampaui batas
identitas karena sang penyair saat menciptanya sumbernya murni
dari mata batin. Oleh sebab itu, ketika kekerasan telah mematikan
unsur kemanusiaan, puisi dengan fitrahnya maju sebagai penggugat dan pembela. Ketika lembaran sejarah begitu amis dengan darah,
puisi juga turut merekamnya. Hal itu bisa kita temukan seperti pada
karya penyair besar Prancis di abad 19, Victor Hugo dan Arthur
Rimbaud. Kedua penyair ini telah menjadikan puisi seolah menjadi
pupuk bagi tumbuhnya berbagai teologi pembebasan kala itu. Hugo
dianggap sebagai pelopor gerakan romantis sekaligus modernis dalam
pembaruan sistem negara di Prancis. Sebab, karyanya selaras dengan
napas zaman ketika masyarakat feodalis mulai tergeser oleh kapitalis
dengan munculnya kaum borjuis. Hugo didaulat oleh rakyatnya sebagai
pejuang yang anti-otoriterisme, dengan puisinya berjudul “Napoleon
le petit”. Puisi ini ditulis saat ia eksil di Brussel, yang masyhur dengan
isinya yang secara tajam mengkritisi kekuasaan Louis Napoleon
Bonaparte. Sementara Arthur Rimbaud, dipuja sebagai salah satu kaum
komunal (kaum pembela Komune Paris dalam Revolusi Prancis), kaum
bolsyewis dengan puisi-puisinya yang kritis, seperti contoh berikut.

yang kuingin, tidaklah lain
kecuali tanah dan batu batu
kusarapan selalu saja udara
batu karang, besi dan bara

Steve Murphy, salah seorang penulis biografi Arthur Rimbaud,
mengemukakan bahwa puisi-puisi Rimbaud menunjukkan
pemberontakannya. Ia sering menggunakan kata batu, besi, dan karang
sebagai pertanda semangatnya terhadap perubahan dalam menghadapi
dimensi-dimensi kekuasaan yang zalim.
Sementara itu, perkembangan mutakhir di Arab, tentu sejarah
takkan melupakan penyair besar asal Irak, Nâzik Malaikah. Bagi rakyat
Irak, Nâzik dianggap sebagai salah satu pahlawan revolusi nasional
yang memperlancar jalannya kudeta Rasyid al-Kilani. Saat itu sebagai
seorang penyair, Nâzik terus menulis puisi-puisi perjuangan, kemudian
terbit menjadi antologi puisi berjudul ‘Âsyiqah al-Lail (1947). Di dalam buku ini, hampir semua puisinya menyerukan perubahan dengan nada bergelora juga bertema kekecewaan dan keputusasaan atas kegagalan suatu rezim. Pada 1957, Nâzik menerbitkan antologi puisinya lagi yang
bertajuk Qarârah al-Maujah. Puisi ini diakui oleh banyak pengamat
telah menjadi sumber revolusi besar Irak pada 14 Juli 1958.
Selain Nâzik, tentu kita tak bisa lupa dengan Mahmud Darwish,
penyair besar asal Palestina. Akibat ketiadaan rumah, Darwish
menjadikan puisi sebagai sebuah tenda yang luas bagi rakyat Palestina
yang membutuhkan sebuah rumah. Dengan puisi, ia mengubah rasa
pilu menjadi lagu rindu. Pada 1982, ia menulis “Lasta Wahdaka”
(Engkau Tidak Sendirian) untuk Yasser Arafat, ketika bangsa Palestina
diusir dari Beirut. Darwish mengatakan itu kepada setiap orang di
muka bumi, kepada setiap orang yang diusir ke pengasingan untuk
kesekian kalinya. Lalu, di mana pun ia pergi, ia selalu bertanya, “Ke
mana burung harus terbang setelah langit terakhir?”
Pada 1974, Arafat membacakan puisi Darwish sampai tiga
kali, kepada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di
dalamnya, Arafat memohon kepada dunia agar memerhatikan nasib
bangsanya, “La tusqatu al-ghusna al-akhdar min yadi” (jangan biarkan
tunas hijau ini jatuh dari tangan saya).
Sementara itu, dalam sejarah jatuh bangunnya Bangsa Korea,
orang tidak akan mengabaikan seorang penyair yang juga pegawai
kerajaan, Yulogk (1582) dengan empatinya ia merekam dan menggugat
kekerasan yang dialami masyarakat Korea dalam tradisi konfusian yang
bangkit saat itu. Yulogk menulis puisi yang sangat menggetarkan,
seperti berikut:

saya bersedia mati lebih muda
juga menahan sakit ditembus peluru
diantara lubang batu dan karang
dari pada hidup mewujud tanpa suara

Yulogk lewat puisi yang dikirim kepada rajanya itu, menggugat
kebijakan sang raja yang memberlakukan tarif pajak terlalu tinggi,
sementara rakyat terus hidup dalam kemiskinan.
Begitu juga dengan perjuangan umat Kristiani di Filipina
pada awal 1980-an dalam revolusi EDSA yang menumbangkan
pemerintahan diktator Ferdinand Marcos, mendapatkan inspirasi dari
penyair besar Filipina seperti Gibrielle Dietrich, Waman Numborka, E
V Rames Periyal, Bhimrao Ambedkar, dan Arun Kamble yang menulis
puisi-puisi miris tentang kegetiran hidup rakyat dalam cengkeraman
kekuasaan tersebut.

Dalam sejarah nusantara, puisi-puisi Hamzah Fansuri yang
berasal dari Aceh abad ke-16 dan ke-17 masih berpengaruh pada puisi
transendental masa kini, jauh ketika Negara Aceh sudah hilang. Hikayat
Perang Sabil (di antaranya karya Cik Pente Kulu akhir abad ke-19 dari
naskah-naskah lama) memengaruhi kesadaran kolektif orang Aceh
untuk melawan penjajahan. Sementara dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia, puisi-puisi karya Chairil Anwar misalnya, turut membakar
semangat kebangsaan, kemandirian, dan kemerdekaan. Selain itu,
mampu menumbuhkan sebuah pengertian dan kesadaran baru bahwa
betapa tidak manusiawi dan tidak adilnya kekuatan penjajah yang
merampas hak asasi suatu bangsa. Oleh karena itu, segala bentuk
penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi, hingga bersih ke
akar-akarnya. Mari kita petik sepotong sajak Chairil yang berjudul
“Semangat”:

biar peluru menembus kulitku
aku tetap meradang menerjang
luka dan bisa kubawa berlari

Bukankah dengan puisi demikian, rakyat Indonesia yang saat itu
terus-menerus ditindas bisa tergerak, menyala, dan berkobar. Karenanya,tak berlebihan jika A.Teeuw berpendapat bahwa seorang penyair
adalah pelaku sejarah melalui puisinya. Selain itu, seorang penyair
juga memberi gagasan, ide, kritik, pesan, harapan, dan pandangan
luas ke depan bergerak maju demi mencapai sebuah perubahan dalam
berbagai segi kehidupan yang diupayakan dengan segenap jiwanya
dapat terwujud—sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita dan harapan
suatu bangsa. Demikianlah, sejumput sejarah puisi dan perannya di
panggung sejarah yang sangat gemilang dan penuh haru kemenangan.
Pertanyaannya, bagaimana dengan perkembangan dan kenyataan yang
ada sekarang?

Puisi menjadi “barang elit” dan semakin menunjukkan
eksklusivisme sebab dalam perkembangannya paling mutakhir begitu
semakin “njlimet” dan sangat sukar dipahami (sublim). Sejarah
gemilang peran puisi seperti di atas, seakan terabaikan begitu saja
oleh penyair-penyair muda kini, bahkan mereka cenderung bangga
bila berhasil menulis puisi dengan bahasa yang akrobati (sangat
aneh-aneh) dan hanya bermain di wilayah bentuk saja. Karenanya,
banyak peristiwa-peristiwa “maha”-penting di negeri ini, seperti
Reformasi, Malari, dll., namun puisi dan penyair sama sekali tak ikut
andil di dalamnya. Lalu, slogan seni untuk seni (l’art pour l’art) yang
mungkin masih diyakini oleh beberapa penyair sampai saat ini hanya
menempatkan puisi di menara gading. Puisi hanya menjadi milik orang
yang “paham”. Maka, tak mengherankan jika apresiasi masyarakat atas
puisi dewasa ini menjadi seperti apresiasi penduduk Yunani purba akan
Tuhan yang Tak Dikenal (Kis. 17:23); tahu bahwa Ia ada, namun terasa
jauh, sukar dipahami, dan sering mengakibatkan “pengetahuan” itu
menjadi milik segelintir orang saja.

PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS SASTRA:
Solusi Pendidikan Moral yang Efektif
Rohinah M. Noor

Post a Comment for "Hubungan antara Sastra, Agama, dan Revolusi Sosial"

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia
DomaiNesia
IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia
Hosting Unlimited Indonesia